Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada
dekade 90-an seperti membangunkan masyarakat Indonesia dari buaian rezim ketika
itu. Kondusifitas politik yang sengaja dibuat dengan cara represif untuk
menciptakan iklim investasi yang baik demi terwujudnya stabilitas ekonomi dalam
negeri rupa-rupanya mulai mengeluarkan bau busuk.
Fondasi ekonomi Indonesia yang didanai hutang
menjadi demikian rapuh. Hutang tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat
produktif hingga nilainya semakin membengkak akibat melemahnya nilai tukar
rupiah atas Dollar yang mencapai angka Rp. 16.000. Semakin diperparah dengan
diberikannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada 16 Bank oleh
pemerintah. Krisis moneter tidak dapat dihindari dan berujung pada krisis multi
dimensi yang akhirnya mampu menjatuhkan rezim Soeharto.
Namun, dari runtutan krisis yang menimpa
Indonesia ketika itu ternyata tidak berdampak secara signifikan terhadap
perekonomian rakyat di sektor-sektor informal. Sama halnya dengan krisis
ekonomi global yang terjadi tahun 2008 silam. Ketika perusahaan sekelas Lehmman
Brothers gulung tikar, yang kebakaran jenggot justru industri perbankan
besar di Indonesia dan orang-orang yang memiliki investasi besar. Sedangkan
ekonomi kerakyatan masih berjalan sebagaimana mestinya. Dampak krisis ini juga
tidak dialami oleh Brunei Darussalam dan India yang memiliki fondasi ekonomi
kerakyatan yang mapan.
Itu artinya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya
mampu menjadi topangan bagi kekuatan ekonomi nasional dan mampu memberikan efek
tetesan yang cukup signifikan bagi terciptanya kemandirian rakyat. Pemerintah
sebagai pemegang kendali kebijakan ekonomi sudah sepatutnya mampu menguatkan
ekonomi kerakyatan melalui pemberian kredit pinjaman dengan proses yang tidak
sulit untuk diakses oleh kalangan industri kecil yang membutuhkan. Pun halnya
dengan sektor pertanian.
Perlindungan terhadap hak petani atas tanah, benih, dan sumber daya penunjang
lainnya harus dijamin oleh Negara.
Jika sudah mandiri, ketergantungan terhadap
Negara lain juga mampu dikurangi. Andre Gunder Frank dalam teori ketergantungan
klasik secara ekstrem menyebutkan bahwa Negara berkembang tidak akan maju jika
ia tidak mau menyudahi ketergantungannya terhadap Negara maju (Budiman:2000). Terlepas dari kritik yang dituai Frank, Negara
berkembang sudah seharusnya membangun ekonomi mandiri dengan mulai melakukan
industrialisasi dan substitusi impor untuk pemenuhan kebutuhan dalam negerinya
sendiri.
Alih-alih membangun kemandirian ekonomi,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru membuka peluang sebesar-besarnya
bagi pelaku investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Sangat disayangkan
sikapnya pada pembukaan CEO Summit APEC 2013, di Bali, yang mengatakan
dirinya sebagai Chief Salesperson Indonesia Inc dan berpromosi tentang
iklim investasi yang baik di Indonesia dengan segala infrastruktur yang siap
mendukung dan upah murah para buruhnya. Sehingga banyak kalangan mengkritik SBY
sebagai penjual bangsanya sendiri.
Sikap ini seolah menjebak Indonesia pada
pusara ketergantungan terhadap asing yang sejak orde baru tidak berkesudahan.
Sementara, ekonomi kerakyatan masih kesulitan mengakses permodalan, petani
kesulitan mengakses bibit dan pupuk murah, belum lagi persoalan tengkulak yang
memiskinkan, ditambah bea impor yang mencapai angka 0% membuat produk-produk
asing beredar tanpa kendali hingga petani Indonesia tidak mampu bersaing.
Sengketa lahan antara petani dan pihak perusahaan juga menjadi dampak dari
terlalu ramahnya Indonesia terhadap investasi asing. Kerusakan lingkungan tidak
dapat dihindari akibat tidak ada regulasi yang ketat yang mampu mengatur
pengelolaan limbah pabrik-pabrik serta privatisasi Sumber Daya Alam (SDA) yang
mematikan tidak hanya pada pelaku ekonomi kerakyatan tetapi juga rakyat
Indonesia pada umumnya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar