Transparent Green Star

Kau akan mengenalku lewat ini, tetapi Jangan berharap lebih pada setiap paragrafnya karena kau tak akan menemukan karya sehebat karya-karya di luar sana.

Ekonomi Kerakyatan Sebagai Kekuatan Ekonomi Nasional

Catatan : Tulisan ini pernah dimuat Sindo Edisi 2 Januari 2013

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada dekade 90-an seperti membangunkan masyarakat Indonesia dari buaian rezim ketika itu. Kondusifitas politik yang sengaja dibuat dengan cara represif untuk menciptakan iklim investasi yang baik demi terwujudnya stabilitas ekonomi dalam negeri rupa-rupanya mulai mengeluarkan bau busuk.
Fondasi ekonomi Indonesia yang didanai hutang menjadi demikian rapuh. Hutang tidak digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif hingga nilainya semakin membengkak akibat melemahnya nilai tukar rupiah atas Dollar yang mencapai angka Rp. 16.000. Semakin diperparah dengan diberikannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada 16 Bank oleh pemerintah. Krisis moneter tidak dapat dihindari dan berujung pada krisis multi dimensi yang akhirnya mampu menjatuhkan rezim Soeharto.
Namun, dari runtutan krisis yang menimpa Indonesia ketika itu ternyata tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian rakyat di sektor-sektor informal. Sama halnya dengan krisis ekonomi global yang terjadi tahun 2008 silam. Ketika perusahaan sekelas Lehmman Brothers gulung tikar, yang kebakaran jenggot justru industri perbankan besar di Indonesia dan orang-orang yang memiliki investasi besar. Sedangkan ekonomi kerakyatan masih berjalan sebagaimana mestinya. Dampak krisis ini juga tidak dialami oleh Brunei Darussalam dan India yang memiliki fondasi ekonomi kerakyatan yang mapan.
Itu artinya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya mampu menjadi topangan bagi kekuatan ekonomi nasional dan mampu memberikan efek tetesan yang cukup signifikan bagi terciptanya kemandirian rakyat. Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan ekonomi sudah sepatutnya mampu menguatkan ekonomi kerakyatan melalui pemberian kredit pinjaman dengan proses yang tidak sulit untuk diakses oleh kalangan industri kecil yang membutuhkan. Pun halnya dengan sektor pertanian.  Perlindungan terhadap hak petani atas tanah, benih, dan sumber daya penunjang lainnya harus dijamin oleh Negara.
Jika sudah mandiri, ketergantungan terhadap Negara lain juga mampu dikurangi. Andre Gunder Frank dalam teori ketergantungan klasik secara ekstrem menyebutkan bahwa Negara berkembang tidak akan maju jika ia tidak mau menyudahi ketergantungannya terhadap Negara maju (Budiman:2000).  Terlepas dari kritik yang dituai Frank, Negara berkembang sudah seharusnya membangun ekonomi mandiri dengan mulai melakukan industrialisasi dan substitusi impor untuk pemenuhan kebutuhan dalam negerinya sendiri.
 Alih-alih membangun kemandirian ekonomi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru membuka peluang sebesar-besarnya bagi pelaku investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Sangat disayangkan sikapnya pada pembukaan CEO Summit APEC 2013, di Bali, yang mengatakan dirinya sebagai Chief Salesperson Indonesia Inc dan berpromosi tentang iklim investasi yang baik di Indonesia dengan segala infrastruktur yang siap mendukung dan upah murah para buruhnya. Sehingga banyak kalangan mengkritik SBY sebagai penjual bangsanya sendiri.
Sikap ini seolah menjebak Indonesia pada pusara ketergantungan terhadap asing yang sejak orde baru tidak berkesudahan. Sementara, ekonomi kerakyatan masih kesulitan mengakses permodalan, petani kesulitan mengakses bibit dan pupuk murah, belum lagi persoalan tengkulak yang memiskinkan, ditambah bea impor yang mencapai angka 0% membuat produk-produk asing beredar tanpa kendali hingga petani Indonesia tidak mampu bersaing. Sengketa lahan antara petani dan pihak perusahaan juga menjadi dampak dari terlalu ramahnya Indonesia terhadap investasi asing. Kerusakan lingkungan tidak dapat dihindari akibat tidak ada regulasi yang ketat yang mampu mengatur pengelolaan limbah pabrik-pabrik serta privatisasi Sumber Daya Alam (SDA) yang mematikan tidak hanya pada pelaku ekonomi kerakyatan tetapi juga rakyat Indonesia pada umumnya.





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.