Transparent Green Star

Kau akan mengenalku lewat ini, tetapi Jangan berharap lebih pada setiap paragrafnya karena kau tak akan menemukan karya sehebat karya-karya di luar sana.

Perempuan dan Konflik SDA

* Tulisan ini pernah dimuat indoWarta.co atau dapat dilihat di sini

Konflik Sumber Daya Alam (SDA) bukanlah sesuatu hal yang baru di Indonesia.. Konflik ini muncul dari ketidakjelasan tapal batas lahan penguasaan dan pengelolaan SDA oleh pihak-pihak tertentu dalam hal ini korporasi, baik korporasi swasta maupun korporasi yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang mengakibatkan diskriminasi, ketidakadilan dan marjinalisasi kelompok masyarakat lainnya. Monopoli pengelolaan SDA dan penguasaan lahan selalu mengarah pada eksploitasi yang merampas sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya secara sistemik dan terstruktur.
Hal tersebut diakibatkan oleh kemudahan berinvestasi di Indonesia yang belum diimbangi dengan kebijakan yang mampu mengatur prinsip dan kewajiban korporasi dalam pengelolaan SDA secara ketat. Beberapa kebijakan yang terkait dengan izin eksplorasi dan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang dengan mudah diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah tercermin dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, dan berbagai Surat Keputusan Menteri.
Hak pengelolaan SDA yang dialihkan kepada korporasi melalui legitimasi yang diberikan oleh Negara membuat kerentanan terhadap konflik menjadi tinggi. Tergerusnya lahan ekonomi masyarakat menjadi dampak yang tidak dapat dielakan. Walhi mencatat dalam dua tahun terakhir setidaknya terdapat 663 kasus SDA yang ditangani, yang hampir dari seluruh kasus tersebut terdapat perempuan sebagai korban. Seperti kasus penambangan pasir lepas pantai di perairan desa Lontar Kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang Banten. Penambangan pasir tersebut jelas berdampak signifikan pada penghasilan warga sekitar yang mayoritas adalah nelayan. Akhirnya laut yang menjadi sumber kehidupan menjadi tidak mampu lagi menopang kebutuhan masyarakat. Hal itu menjadi pemicu tingginya minat perempuan untuk menjadi buruh migran di Timur Tengah.
Kasus di atas merupakan satu dari ratusan kasus  yang menjadi bukti bahwa perempuan dan alam merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai penanggungjawab kebutuhan pangan keluarga, tentunya, perempuan sangat bergantung pada alam sebagai sumber kehidupan. Simbiosis mutualisme ini yang kemudian gagal dipahami oleh Negara. Kebijakan atas eksploitasi SDA yang menggerus lahan ekonomi membuat perempuan menjadi komponen masyarakat yang lebih dahulu dirugikan. Itulah sebabnya dalam banyak kasus SDA perempuan selalu menjadi pejuang di garda terdepan.
Posisi tersebut membuat perempuan dalam konflik SDA sering mengalami reviktimisasi. Tidak hanya menjadi korban dari pengalihan sumber daya alam yang berdampak pada minimnya sumber-sumber ekonomi, perempuan yang berjuang mempertahankan SDA kerap menjadi korban kriminalisasi, intimidasi, hingga ancaman-ancaman kekerasan seksual.
Ini menjadi bukti bahwa kebijakan Negara masih tidak ramah terhadap perempuan. Dengan dalih percepatan pembangunan dan income yang menggiurkan, Negara abai dalam memperhatikan kebutuhan masyarakat, utamanya perempuan-perempuan desa, yang menggantungkan hidupnya dari alam.
Konflik SDA masih akan menghantui jika Negara tidak tegas dalam mengambil langkah penanggulangan. Meninjau kembali setiap kebijakan yang memudahkan perizinan ekplorasi dan eksploitasi SDA dapat menjadi langkah konkret Negara dalam upaya menghentikan segala bentuk konflik yang mengorbankan, khususnya, perempuan dan masyarakat pada umumnya.
Selain itu, penting juga mendorong Negara untuk bertanggungjawab dalam menyediakan mekanisme pemulihan hak-hak korban konflik SDA dengan menyertakan korporasi sebagai penanggungjawab. Di samping juga mendorong Negara untuk melakukan perlindungan bagi perempuan yang mempertahankan haknya atas SDA yang menjadi sumber penghidupannya. Negara juga harus melakukan upaya-upaya konkrit, efektif dan menyeluruh dalam menangani dan mencegah kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di sektor SDA, serta mencari resolusi konflik yang tepat, termasuk mempercepat inisiatif dialog dengan masyarakat.





Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.