Hari ini, 9 hari sudah Macchi
bersama saya. Minggu lalu saya temukan ia di pinggir tempat sampah, tepat
bersebelahan dengan selokan.
18 September lalu, saya memutuskan untuk pulang ke kost di
Pasar Minggu setelah beberapa hari terbaring sakit di rumah nenek (Rawa
Belong). Hari menjelang sore, terik matahari berganti mendung. Bergegas saya
memesan ojek online, berharap hujan tidak lebih dulu datang dari pada si Abang
ojek. Telepon berdering, si Abang Ojek meminta saya menunggu 10 menit karena
harus ke Pom Bensin. Apa boleh buat? Pikir saya. Tidak sabar, saya pun menunggu
di luar pagar. Melipir ke warung sebentar hendak menukar uang dengan modus
membeli sesuatu supaya dapat kembalian dengan pecahan uang yang lebih kecil.
Di tengah menunggu, sayup-sayup terdengar tangisan bayi
kucing. Dengan mudah saya temukan sumber suara itu. Tidak ada yang saya lakukan
kecuali mempertanyakan keberadaan si Ibu Kucing di dalam hati. Itulah kali
pertama saya bertemu Macchi. Lima menit sudah saya menunggu ojek, hujan turun. Saya
pun SMS si Abang Ojek untuk berteduh dulu sambil ngopi-ngopi. Kalau hujan sudah reda,
baru abang jemput saya², begitu bunyi SMS yang
saya kirim ke si Abang Ojek.
Macchi Berpasir |
Entah mengapa saya malas kembali ke dalam rumah nenek dan
lebih memilih menunggu hujan reda sembari berteduh di pinggir warung. Macchi
makin keras menangis karena kebasahan. Saya tidak bergeming. Hujan bertambah deras, bulir-bulir hujan
mendera tubuh mungil Macchi. Mungkin ia kesakitan. Saya tarik nafas panjang.
Saya bongkar tas di punggung saya dan ualaa! ada kaos oblong. Tanpa pikir
panjang, saya angkat tubuh kecilnya yang basah. Dalam balutan kaos oblong ia
diam. Mungkin lelah menangis. Tidak sampai hitungan menit, air deras di selokan
menguap dan menggenang. Saya mengucap syukur sejadi-jadinya. Terbayang, betapa
mengerikannya jika Macchi tenggelam. Jangankan untuk menghindari luapan air,
berjalan pun ia masih terseok.
Ia begitu kecil, ringkih, dan berpasir. Pertama kali saya
temukan matanya belum terbuka, tali pusatnya masih menempel. Hingga detik ini
saya menyesal, mengapa saya tak cepat evakuasi, mengapa saya biarkan ia hingga
basah.
Saya bawa ia ke dalam rumah nenek. Menaruhnya pada Loyang
alumunium bekas yang saya temukan di kolong lemari dapur nenek dan ia tertidur
pulas.
Macchi di Atas Loyang Darurat ;P |
Tidak lama hujan
reda. Abang Ojek sudah menunggu di depan rumah. Saya pergi dengan membawa
Macchi serta dan jadilah Macchi penghuni baru Rumah Cemara.
Hari pertama hingga hari ke tiga adalah perjuangan luar
biasa. Macchi diare, kedinginan, dan hanya ingin tidur di perut saya. Dua malam
saya dibuat tidak tidur. Tangisnya semakin keras dari waktu ke waktu. Saya
belum punya pengalaman mengurus bayi kucing sebelumnya. Untungnya, informasi
banyak tersedia di Internet.
Pertama yang saya lakukan adalah memprediksi umur Macchi.
Ini penting untuk menentukan pola treatment
macam apa yang akan saya berikan. Dengan ciri mata yang masih tertutup, tali
pusat yang masih menempel, dan cara berjalan yang masih terseok-seok, saya
asumsikan Macchi berumur 7 hari saat saya temukan.
Setelah itu, saya tentukan berapa milliliter susu yang harus
saya berikan. Untuk kucing berumur 0 sampai 7 hari, dosis pemberian susu antara
2 sampai 5 mililiter. Selain itu, dari hasil browsing, saya terinformasi bahwa
kucing tidak cocok dengan susu sapi. Karena gula susu (laktosa) tidak bisa
diurai di lambung kucing. Hampir saja saya cekoki banyak-banyak susu sapi ke
mulut Macchi karena kekhawatiran saya padanya yang semakin lemas tidak
berenergi. Karena informasi itu, langsung saya beli susu khusus kucing beserta
dot-nya.
Sehari/dua hari Macchi tidak mau minum di dot susu sehingga
harus sedikit dipaksa. Terdengar kejam tetapi daripada perutnya yang kosong semakin
memperparah kondisinya. Saya tidak punya pilihan. Dia mungkin bingung akibat
peralihan dari puting susu si Ibu Kucing ke puting bohong-bohongan bikinan
pabrik. Tetapi setelah mampu beradaptasi, doyannya luar biasa. Dia seperti
tidak mau lepas.
Hari kedua Macchi bersama saya, diarenya semakin parah. Lagi-lagi
hasil dari browsing mengatakan bahwa sebaiknya kucing dipuasakan dulu 5 sampai
8 jam guna mengistirahatkan lambungnya dari pekerjaannya mengolah makanan. jika
setelah puasa kucing muntah berarti kondisinya sudah kritis dan harus segera
dibawa ke dokter. Jika tidak muntah, maka segera beri dia air putih agar tidak
dehidrasi. Alhamdulillah, Macchi tidak sampai muntah. Dan untuk menghindari
dehidrasi saya beri dia air putih hangat.
Keesokan harinya, saya bawa Macchi ke dokter hewan di jalan
Salihara, Pejaten. Dokter memperkirakan umur Macchi sudah masuk minggu kedua karena
persis di hari yang sama dimana saya membawa Macchi ke dokter, tali pusat
Macchi copot dan matanya mulai terbuka. Dokternya sempat ngomel karena saya beri Macchi air putih. Sarannya, sebaiknya saya
masukan madu ke dalam susu Macchi sebanyak satu tetes. Madu bukan saja bagus
untuk pencernaan tetapi juga untuk menghangatkan badan dan menambah energi bagi
Macchi yang lemas. Suhu tubuh Macchi rendah. Dokter juga menyarankan untuk
menidurkan Macchi di tempat hangat yang diberi lampu bohlam kuning. Fungsinya
mirip-mirip incubator begitulah. Feses
Macchi juga diperiksa dan hasilnya sama sekali tidak ada cacing. Syukurlah!. Sebelum
pulang dokter memberi Macchi obat diare biasa, yang harus diminum dua kali
sehari seperempat tablet. jangan diminum lagi kalau eek-nya Macchi sudah sedikit memadat, kata ibu dokter.
Mas
Danang, kawan saya di kantor membuatkan incubator
dari box dengan bukaan atas yang saya
beli di Toko Tetap Segar, Pasar Minggu. Mas
Danang menawarkan bantuan karena ia teringat kucingnya yang dulu ia temukan
sama besarnya seperti Macchi. Ia beri nama Alfa karena kucingnya ditemukan di
Alfamart. Hehe.
Macchi di Incubator |
Di kamis pagi saya shock,
Macchi tidur nyenyak tanpa tangisan semalaman di incubator buatan Mas Danang. Saya shock bukan karena Macchi tidur nyenyak tetapi karena saya lengah
memberinya susu yang seharusnya 4 jam sekali. Dengan muka bantal dan mata
(mungkin) masih belekan saya segera
memasak air untuk susu Macchi. Perlu diingat, jangan sekali-kali beri anak
kucing susu yang terlalu dingin atau terlalu panas. Suhu harus + 38
derajat Celsius.
Setelah itu, Macchi tidur seharian. Saya sampai bingung.
Saya takut Macchi sakit (lagi). Tadinya
saya berniat mau bawa lagi Macchi ke dokter tetapi kawan-kawan di kantor
mencegah. Mereka bilang saya terlalu khawatir. Perut Macchi kembung dan Macchi
tidak juga buang air. Saya berpikir apa saya salah dosis waktu memberi Macchi
obat. Saya coba browsing lagi. Ternyata hasilnya, ya memang bayi kucing itu
bisa tidur lebih dari 20 jam sehari dan untuk membuat bayi kucing buang air
adalah dengan menyentuh anus dan lubang kencingnya. Karena, biasanya, si Ibu
Kucing juga menjilat kedua lubang itu. Dan untuk mengatasi perut kembung, dari
hasil browsing, cukup dengan mengoleskan sedikit saja minyak kayu putih ke
perut bayi kucing. Jangan terlalu banyak karena bayi kucing bisa kepanasan.
Setelah itu, dipijat perlahan.
Kemaren pagi, Minggu 25 September 2016 adalah hari membahagiakan.
Macchi buang air besar dengan bentuk kotoran yang bagus, tidak terlalu padat
dan tidak terlalu cair. Bisa dipastikan Macchi sembuh dari diare-nya dan
perutnya tidak lagi kembung. Alhamdulillah.
Macchi tidur terus |
Macchi sehat karena Macchi kuat. Sekarang minum susunya
sudah 10 mililiter dan sudah pintar gigit. Saya pikir gigi susunya sudah mulai
tumbuh tapi saya ragu karena setiap saya mau cek Macchi tidak bisa diam.
Saat ini, saya sedang observe
beberapa makanan kucing untuk Macchi. Maklum, minggu depan adalah pertama
kalinya Macchi boleh makan. Saya harus pikirkan dari sekarang, daripada nanti
saya gonta-ganti dan Macchi diare lagi. Kawan saya di kantor ada yang berseloroh
Macchi itu kucing kampung jadi perlakukanlah
dengan cara kampung, kasih makannya juga makanan kampung. Gak usah dibikin ribet. Supaya suatu saat kalo lu gak kasih makan dia bisa survive sendiri. Saya
mengernyitkan dahi. Entahlah. Saya masih punya waktu satu minggu untuk mencari
tahu. Yang penting sekarang Macchi sehat dulu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar