Persekusi
keagamaan merupakan sebuah terminologi yang mungkin tidak terlalu familiar bagi
banyak orang tetapi keberadaannya cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Persekusi adalah sebuah tindakan sewenang-wenang tanpa memikirkan rasa
kemanusiaan dan keadilan. Jika disandingkan dengan istilah ‘keagamaan’ dapat
diartikan sebagai persekusi berbasis agama.
Dalam
sejarah agama-agama di dunia, hampir seluruh agama mendapat tindakan persekusi.
Contoh sederhana yang mudah kita fahami adalah ketika Nabi Muhammad mendapat
tindakan persekusi dari kaum Quraisy karena membawa ajaran yang dianggap tidak
sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan masyarakat jahiliyah ketika itu. Jauh
kita tarik kebelakang, sejarah mencatat peristiwa penting Nabi Musa yang juga
mendapatkan tindakan persekusi dari Fir’aun.
Dalam
konteks ke-Indonesia-an saat ini, hal yang sama juga dialami oleh penganut
aliran Islam Ahmadiyah dan Syiah diberbagai daerah. Bukan hanya kedua aliran
tersebut tetapi masih banyak kelompok-kelompok agama minoritas yang kemudian
mendapat tindakan persekusi seperti para jemaat kristiani GKI Yasmin Bogor atau
HKBP philadelpia Bekasi, dll.
Perlindungan Negara Terhadap Kemerdekaan Beragama Dan
Berkeyakinan
Ada
beberapa usaha awal yang ditempuh untuk mengatasi persekusi yang semakin
mengakar di kehidupan masyarakat. Di antaranya, pada tahun 311 M, Galerius
mengeluarkan maklumat toleransi yang memberikan hak kepada orang Kristen untuk
mendirikan gereja dengan syarat tidak mengganggu ketertiban umum. Pada tahun
622 M, hal yang sama juga dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam piagam Madinah
guna mengakomodir semua agama dalam naungan Negara Madinah. Hingga pada tahun
1948 pasca Perang Dunia II lahirlah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang dalam butir-butirnya juga memberikan jaminan dan perlindungan
terhadap kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
Sejak
awal kemerdekaannya, Indonesia sudah memberikan perlindungan terhadap
kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Bahkan tiga tahun lebih dulu sebelum
DUHAM memberikan pengakuannya, para founding fathers kita telah menyadari pentingnya memberikan
perlindungan terhadap kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Hal ini Tertuang
dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 ayat 2 yang diperkuat pada
amandemen UUD 1945 pasal 28E dan 28I juga dalam pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999
dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant Civil And
Politic Right (ICCPR).
Pembatasan Kemerdekaan Beragama Dan Berkeyakinan
Dalam
Instrumen Hak Asasi Manusia, kemerdekaan beragama dan berkeyakinan merupakan
hak yang tidak dapat dibatasi (Non Derogable Right). Namun, logika
pemenuhan hak seseorang yang juga dibatasi oleh hak orang lain membuat
kemerdekaan beragama dan berkeyakinan dalam konteks pemenuhannya masih harus
memperhatikan beberapa aspek. Yakni, seseorang merdeka memeluk agama dan
keyakinan dengan syarat apabila agama atau keyakinan yang dianutnya tidak
mengganggu kesehatan umum, keselamatan umum, ketertiban umum, dan moral umum.
Namun, pembatasan wajib ditetapkan dengan cara yang tidak diskriminatif.
Dalam
beberapa kasus di Indonesia, pembatasan terhadap kemerdekaan beragama dan
berkeyakinan seperti mencoreng nilai-nilai konstitusi dan kebhinekaan. Coba
kita telisik persekusi yang menimpa kelompok Syi’ah di Sampang, juga kelompok
Ahmadiyah dibanyak daerah, serta kelompok-kelompok minoritas agama lainnya.
Dengan sedikit komentar dari pemimpin kelompok mayoritas ditambah sentuhan
media yang tidak berimbang terbentuklah stigma “sesat”, “penista agama”, bahkan
“teroris”. Dengan stigma seperti itu kita seolah-olah berhak menjustifikasi,
melegitimasi pembunuhan, bahkan melupakan hak-hak mereka sebagai warganegara
Indonesia.
Award Untuk SBY
Di
tengah berkecamuknya persoalan persekusi keagamaan yang tidak kunjung mendapat
titik penyelesaian. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru mendapat
penghargaan sebagai tokoh yang mampu menjaga toleransi beragama dari appeal
for conscience foundation beberapa waktu lalu. Ini menjadi paradoks yang
kemudian mendatangkan kontroversi. SBY dianggap tidak cukup layak mendapat
penghargaan semacam itu mengingat di era kepemimpinannya, menurut Komnas HAM,
banyak sekali tindakan intoleransi dalam beragama dan berkeyakinan yang muncul
dan belum dapat diselesaikan. Bahkan kualitas dan kuantitas konfliknya tidak
memiliki tanda-tanda menuju ke arah perbaikan.
Social clash
yang terjadi di masyarakat, khususnya menyoal kemerdekaan beragama dan
berkeyakinan, tidak hanya terjadi akibat ketidakpekaan negara melihat
konflik-konflik yang sifatnya masih laten sehingga tidak ada upaya preventif
yang diambil, tetapi juga mengenai instruksi yang tidak terdistribusi dengan
baik serta ketidakpahaman aparatur negara dalam memposisikan dirinya dalam
konflik. Permasalahan yang mendasar seperti ini akhirnya menimbulkan
peradangan. SBY sebagai pemegang tampuk kepemimpinan nyatanya tidak mampu
memegang kendali serta controlling atas berjalannya mekanisme pemenuhan
kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Betul
kiranya, bahwa Menteri Agama atas nama negara sudah turut andil dalam beberapa
penyelesaian konflik keagamaan tetapi follow up dan evaluasinya minim
dilakukan sementara konflik terus melarut dan pelanggaran HAM menjadi semakin
kompleks. Sedangkan SBY diam tidak bergeming. Kalau sudah begini, Entah apa
yang membuatnya dinobatkan sebagai “Bapak Toleransi Beragama”. Ya, paling tidak
ia mampu menebarkan pencitraan, yang sudah tidak laku di dalam negeri, ke luar
negeri. Jangan tanya untungnya apa?. Yang jelas tidak ada pengaruhnya bagi
penyelesaian persekusi keagamaan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar