Perempuan dan alam
adalah dua sumber daya strategis yang mampu menunjang kelangsungan hidup semua
elemen di bumi. Evelyn Reed dalam bukunya Evolusi Perempuan memberikan
bukti-bukti bahwa sejak lama sekali telah terjadi sinergi yang begitu apik di
antara keduanya. Pada fase mengumpulkan makanan ratusan ribu tahun yang lalu,
perempuan telah mampu menciptakan seni mengolah tanah. Banyak ilmuan mengatakan
perempuan sebagai penemu pertanian pertama.
Oleh karena itu,
perempuan dianggap sosok perwujudan dari bumi, bahkan bumi juga
disimbolisasikan sebagai “Ibu yang Agung” yang memiliki sifat melindungi.
Simbolisasi ini merupakan pengejawantahan keanekaragaman yang tersebar luas di
segala tempat. Perempuan juga ditinggikan sebagai Dewi Hutan yang bernama
Arnyani yang merupakan sumber utama kehidupan dan kesuburan. Alam pun dihormati
sebagai sesuatu yang sakral. Hutan sebagai ekspresi tertinggi tentang kesuburan
dan Produktifitas juga dilambangkan sebagai Bumi Pertiwi, Dewi Surga, atau Dewi
Pohon.[1]
Bahkan dalam beberapa suku yang masih sangat tradisional di Indonesia, padi
yang menjadi salah satu makanan pokok disimbolisasikan sebagai keagungan Dewi
Sri. Perempuan dan alam adalah elemen penting tak terpisahkan, dari keduanyalah
kehidupan berasal dan berkembang.
Namun, seiring
memudarnya nilai-nilai tradisional yang tergerus oleh arogansi maskulinitas
yang meyakini bahwa manusia merupakan pusat dari segala peradaban di dunia
(Antroposentris) seiring itu pula eksploitasi berlebihan terhadap alam mulai
mengancam segala aspek kehidupan, termasuk perempuan yang merupakan mitra alam
yang terbaik. Arogansi ini melahirkan jarak yang besar antara manusia dan alam
sehingga alam dipandang sebagai sesuatu yang terpisah dari manusia. Padahal
alam merupakan tempat tinggal seluruh makhluk yang memiliki keterkaitan satu
sama lain. Hubungan antara semua elemen ini mengisyaratkan jika satu elemen
saja dirusak maka elemen lain pun akan terancam.
Dalam konteks
ke-Indonesia-an, kita dapat melihat dari apa yang dirilis Walhi 2007 silam.
Berpuluh tahun sudah pemerintah Indonesia melanggengkan eksploitasi sumber daya
alam dengan alasan meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, namun pada
kenyataannya masyarakat menjadi miskin dan perempuan termarjinalisasikan karena
sumber daya alam yang merupakan pencarian hidup mereka hilang, yang timbul
justru konflik berkepanjangan. Terlebih ketika Negara menyikapi konflik sebagai
sesuatu yang lumrah, hanya sebatas resiko yang harus dilalui demi tercapainya
cita-cita pembangunan.
Tingginya tingkat
polusi akibat industri tidak hanya mengancam perempuan dari segi ekonomi,
tetapi juga mengancam jiwa dan kelangsungan hidup kaum perempuan. Radikal bebas
membuat kuman dan bakteri jahat berevolusi menyesuaikan diri. Ini yang kemudian
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker serviks dan kanker payudara. Belum
lagi timbal yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik, tanpa pengolahan limbah lebih
lanjut, langsung dibuang ke sungai dan laut. Alam dan lingkungan pun
terkontaminasi zat kimia beracun. Ini mengakibatkan tingginya angka kematian
ibu melahirkan, kecacatan bayi, hingga angka kematian bayi.
Inilah yang terjadi
ketika budaya patriarki mendominasi dan merepresi eksistensi perempuan dan
alam. Sungguh ironis ketika alam hanya dimaknai sebagai instrument pemenuhan
kebutuhan dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lebih krusial. Untuk
menyelesaikan permasalahan ini, banyak hal yang perlu dikedepankan. Diantaranya
kita harus merubah mind set tentang bagaimana seharusnya kita memaknai
alam, selain itu meningkatkan kepedulian dan relasi interdependency dalam
tindakan nyata penyelamatan alam dapat dilakukan untuk mewujudkan kehidupan
yang harmonis dan bebas dari bias gender.
Perlakuan alam
berbanding lurus dengan perlakuan terhadap perempuan. ketidak berpihakan
terhadap perempuan yang dinyatakan melalui berbagai opresi, terjadi pula
terhadap alam. Relasi inilah yang mempertemukan keduanya sebagai problem
filosofis. Oleh karenanya, penyelesaian kedua permasalahan tersebut tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Di sinilah Negara harus cerdas memposisikan diri
sebagaimana mestinya agar kedua permasalahan tersebut dapat terurai bukan malah
memperparah dengan berbagai kebijakan baru yang justru mendikreditkan keduanya.
[1] Ketty
Stefani, “Kritik ekofeminisme....,” (skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Indonesia, 2009), h. 11.
1 komentar
yap, pada dasarnya perempuan lebih multi talent daripada pria. mereka dapat mengerjakan banyak hal sekaligus. tulisanmu bagus, uci.
mampir ke tempatku juga ya: munirsaiful.blogspot.com
Posting Komentar