Transparent Green Star

Kau akan mengenalku lewat ini, tetapi Jangan berharap lebih pada setiap paragrafnya karena kau tak akan menemukan karya sehebat karya-karya di luar sana.

Selendang Hijau Ponirah



Selamat pagi, kawan..
Saya harap semua dalam keadaan baik..
Ada sesuatu yang hendak saya bagi di sini, tentang perempuan berselendang hijau yang menginspirasi saya.
Saya tak pernah bertanya siapa namanya. Anggap saja ia Ponirah. Pekerjaannya adalah penjaja panganan pagi-sore. Bakul nasi uduk, gorengan dan sekantung besar kerupuk dibawanya setiap pagi, kadang ia memasukan pepes ikan dan sayur siap saji titipan tetangganya untuk dijualkan sembari juga menjajakan dagangan buatannya sendiri. “Lumayan untungnya” demikian ia berfikir. Jangan tanya beratnya. Peluh yang keluar cukup menjawab pertanyaan itu. Sore hari ia kembali berkeliling menjajakan pisang dan ubi goreng, teman teh dan kopi bagi siapa saja yang ingin menikmati sore yang bising di pinggiran kota.
Penjaja panganan yang biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Ya, setidaknya itu yang ada dalam fikiran saya di awal sampai suatu ketika saya berkesempatan mengobrol dengannya.
Di suatu pagi, sambil menemani saya makan nasi uduknya ia menumpang istirahat. Berselonjor di depan pintu kamar kost yang sungguh tidak besar itu, untuk sekedar menghilangkan letih di kaki dan tangan. Ia menolak diajak masuk dengan alasan ia tak akan lama. Seperti kebiasaan ibu saya, siapapun yang datang adalah tamu. saya tuangkan ia segelas air putih, berfikir mungkin ia haus membopong bakul sedari subuh. Kali itu, mengalir obrolan yang mungkin hanya beberapa menit saja. Tetapi cukup membuat mata saya terbelalak lebar. Saya menjadi ingin tahu lebih banyak tentang Ponirah Si Perempuan Berselendang Hijau. Oleh karenanya, dalam berbagai kesempatan saya kerap mengobrol dan biasanya obrolan akan mengalir pada sesuatu yang tak saya duga-duga.
Ponirah, perempuan rantauan dari tanah pasundan. Usianya belum 45 tahun. Fisiknya kecil tetapi kuat. Guratan lelahnya tak mampu menutupi wajah cantik khas perempuan parahyangan. Selendang hijau yang mulai kelabu, yang senantiasa menemaninya menapaki jalan pagi berembun, menutupi sebagian besar kepalanya. Ia lahir di sebuah desa. Bukan ia tak ingin bekerja dan mendapatkan upah yang layak, tetapi apa boleh buat, sekolah pun hanya sampai kelas 5 Sekolah Dasar (SD). Belum genap usia 18 tahun ia sudah dinikahi. Memiliki dua orang anak dalam kondisi ekonomi yang sulit membuat ia terpaksa merantau ke Jakarta. Tidak ada bekal ia bawa. Di perantauan ia hanya bekerja seadanya; menjadi tukang cuci piring, kuli cuci-setrika, dan pekerja rumah tangga. Usia 23 tahun ia menjanda, sang suami meninggal karena peradangan pada selaput otak. Usia 25 tahun ia menikah lagi dengan supir angkutan umum dan mendapat lagi satu orang anak. Namun, nasib baik tidak juga berpihak padanya. Suami tempat ia menaruh harapan justru memperlakukan ia semena-mena.
Suatu hari, ia beranikan diri untuk kabur dan kembali ke rumah orang tuanya dengan memboyong ketiga anaknya. Dirinya sempat mengalami trauma. Tetapi tiga anak yang ada dihadapannya membuatnya merasa harus bangkit. Sejak saat itulah, ia memutuskan untuk berdagang nasi uduk saja dan membantu tetangganya kalau dibutuhkan. Mengontrak rumah petak di pinggiran kota, membawa bekal seadanya hingga perlahan-lahan ia mampu memboyong ketiga anaknya untuk tinggal bersama dan tidak lagi menyusahkan kerabat di kampung.
Susah letih menghidupi keluarga, anak perempuan pertamanya menikah pada usia lebih muda dari usianya menikah dulu. Ponirah terpaksa merawat cucu pertamanya lantaran anaknya meninggal setelah melahirkan. Sang menantu memutuskan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan tak terlacak lagi dimana jejaknya. Sampai sekarang, ia merasa harus berjuang menyekolahkan anak dan cucunya. Bertekad bahwa apa yang ia alami tidak boleh pula dialami anak cucunya semakin memperkuat daya juang ponirah. Itulah jawaban dari pertanyaan saya dalam kepala tentang mengapa ia segigih itu membopong bakul pagi-sore menjajakan panganan sederhana, ternyata apa yang ada di belakangnya menjadikan nasi uduk dan gorengan buatan Ponirah luar biasa.
Apa yang ia alami tentu tidak sesederhana cerita yang saya tuliskan. Mungkin ini cerita yang biasa-biasa saja. Selain karena saya yang tak pandai menarasikan, kejadian yang sama sudah terlalu sering kita dengar dialami oleh banyak perempuan di Indonesia.
Dari apa yang saya jabarkan, kawan-kawan bisa menilai dan menarik kesimpulan sendiri. Saya mengabadikan Ponirah dalam blog ini melalui selendang hijaunya (The Green Shawl) yang saya anggap sebagai simbol perjuangan Ponirah. Akan saya kenang sepanjang masa. Saya berdoa agar ia sehat selalu. Amin.




1 komentar

Unknown mengatakan...

Subahanallah ...
Semoga yang maha kuasa memberikan dia dan kita semua kesehatan, kekuatan jiwa dan raga dalam menjalani hidup ini.

Diberdayakan oleh Blogger.